Memangkas Perilaku Koruptif di Asahan
Oleh : E. Ambarita, SE
Rasa-rasanya, tak
salah bila banyak orang yang menyatakan bahwa di Pemerintahan Kabupaten Asahan
ini menjadi tempat yang subur bagi tumbuh mekarnya korupsi. Bak jamur di musim
hujan, korupsi menjalar dan beranak pinak. Saban hari, berita tentang korupsi,
ramai diwartakan, mulai dari kasus ikan teri hingga kelas kakap. Uang rakyat
digerogoti dengan seksama tanpa memedulikan apa konsekuensinya.
Bahkan ada
pernyataan dari seorang rekan, bila semua koruptor di Pemkab Asahan ini
ditangkap, diadili dan kemudian diberi hukuman, tak cukup penjara dan lembaga
pemasyarakatan untuk menampungnya. Entah karena alasan dari pada harus
membangun penjara baru, yang memakai uang rakyat dan cenderung dikorupsikan
lagi, maka ada kesan membiarkan sebahagian koruptor di Asahan bebas
berkeliaran. Pola seperti ini akrab disebut model tebang pilih. Memilih siapa
yang duluan, dan kasus mana yang ditangani. Benarkah ?
Mentalitas Pemimpin
Di Kabupaten
Asahan tercinta ini perilaku koruptif terjaga dengan baik. Orang yang anti
terhadap korupsi justru mendapat perlakuan aneh. Misalnya, dalam suatu kantor
pemerintahan, ada seseorang yang tidak mau terlibat korupsi, seperti
menandatangani SPPD fiktif, sering dicap sebagai orang bodoh dan gila. Yang
suka korupsi menjadi orang waras. Mereka-mereka yang tidak suka korupsi, sangat
jarang mendapatkan jabatan, apalagi jabatan basah. Sehingga ada adagium buruk
yang membahana dalam lingkup pemerintahan, untuk mendapatkan jabatan harus
terampil atau berhasil dulu melakukan korupsi.
Meski hal ini
terkesan terlalu kasar, tetapi rasanya sulit untuk dibantah. Tidak saja di
pusat, namun juga di daerah, meski teriakan reformasi birokrasi selalu saja
membayangi, utamanya dalam setiap suksesi kepemimpinan. Komersialisasi jabatan
menjadi hal yang biasa. Sehingga kita menganggap bahwa yang biasa itu berarti
baik. Padahal salah. Yang baik dan benar itulah yang perlu dibiasakan.
Para pemimpin kita
masih sangat mencintai perilaku koruptif. Buktinya, mesti korupsi disebut
sebagai penyakit bangsa, nyatanya masih banyak terjadi. Banyaknya kasus-kasus
korupsi, yang sudah terungkap, apalagi yang belum terungkap, membuktikan bahwa
koruptor atau si pelaku korupsi, banyak berkeliaran di Pemkab Asahan tercinta
ini untuk mengeruk harta karun rakyat dalam bentuk APBD. Hal itu sekaligus juga
membuktikan bahwa tradisi buruk masih tetap terpelihara, meski pada prinsipnya
tidak disenangi rakyat. Ketidaksenangan rakyat seolah bisa diatasi, dengan
tampilnya sipelaku korupsi sebagai sinterklas, suka menolong sesama.
Maka, ketika saat
sedang melakukan pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah seperti waktu
lalu di Asahan, bahkan ada juga yang menunggu pelantikan, itu menjadi arena
peperangan apakah melanjutkan tradisi buruk atau ada semangat pembaharuan.
Karena itu, ketika seseorang dilantik menjadi kepala daerah, di hadapannya
pintu korupsi terbuka lebar. Dan saat yang sama pintu penjara sedang menanti.
Berkaitan dengan itu, ucapan yang paling pas disampaikan pada mereka yang
hendak atau sudah dilantik adalah selamat untuk menjaga diri dari kuburan
penjara.
Di sisi lain,
dengan berbagai model, masyarakat Asahan sudah secara tegas dan jelas
menyatakan harapannya akan pemberantasan korupsi di Kabupaten Asahan tercinta
ini. Tetapi nyatanya, beragam praktik korupsi dalam beragam modus pun masih
terjadi. Di bahagian lain, pemerintah dengan gagah berani tak henti menyatakan
niatnya untuk memberantas korupsi. Demikian juga dengan aparat penegak hukum.
Namun, lagi-lagi manisnya ucapan tak semanis kenyataan. Kasus-kasus korupsi tetap
saja menggejala. Dan tak jarang, konspirasi dari jejaring praktik korupsi
melibatkan aparat penegak hukum. Maka tak salah bila ada anggapan yang
menegaskan, bahwa niat untuk memberantas korupsi belum menemui titik sasaran.
Harapan masyarakat Asahan
Jelas, impian akan hadirnya
masyarakat Kabupaten Asahan yang merupakan akumulasi dari daerah-daerah,
sebagai sebuah bangsa yang terbebas dari jeratan budaya korupsi, kelihatannya
tidak surut dari keinginan dan cita-cita kita. Karena itu, kata tekad dan upaya
pemberantasan korupsi terus didengungkan. Panggung-panggung politik,
ruang-ruang publik, selalu dihiasi dengan untaian kata korupsi.
Singkatnya, isu
korupsi hampir tak pernah alpa ruang tebar jala politik. Namun, dalam
kenyataannya, masalah korupsi begitu sulit diusir dari tubuh bangsa ini,
termasuk Asahan. Kalau kita lebih jeli melihat, bahwa korupsi di Pemkab Asahan
ini telah begitu menggurita dan tumbuh dimana-mana. Hampir tidak ada
kesempatan, tempat, dan atau lembaga pelayanan publik yang tanpa dihadiri
korupsi, dalam jenis dan modus yang beranekaragam. Apakah itu korupsi waktu
bagi penyelenggara pelayanan publik, korupsi dana publik, dan jenis korupsi
yang lain.
Salah satu
lembaga publik yang seharusnya diperuntukkan untuk mengontrol penyelenggaraan
daerah, dalam arti mencegah terjadinya korupsi, akan tetapi dalam
perkembangannya ternyata justru melakukan korupsi adalah lembaga legislatif
DPRD. Artinya, korupsi telah tumbuh dan berkembang di tubuh lembaga legislatif.
Harus kita akui,
sebagaimana yang ditemukan oleh berbagai lembaga lokal, bahwa korupsi masih
menjadi bagian penting dari perjalanan bangsa. Artinya, dalam sejarah
perjalanan Kabupaten Asahan, kelihatannya (juga kenyataannya) ada sebuah
“penyakit” bernama korupsi, yang sudah kronis dan belum ditemukan “obat”
penanggulangannya hingga sekarang ini. Sebagai sebuah penyakit yang sudah akut
seperti kanker, tentu perlu upaya-upaya untuk mengatasinya, jika dampak
lanjutan tidak diharapkan terjadi. Untuk itu, langkah nyata dan progresif harus
dimulai sejak dini.
Sialnya, harapan
mulia itu tak kunjung datang. Karena itu, penyakit tersebut semakin hari
semakin menggelembung dan telah menyentuh ke semua lini kehidupan. Bentuk dan
wujudnya pun berobah dalam berbagai macam bentuk. Hal ini bisa diakibatkan oleh
luas dan tersedianya lahan bagi persemaiannya. Perilaku buruk itu menjalar
hingga ke jantung pelayanan publik.
Sebagaimana
anatomi penyakit kronis, tentu perilaku koruptif, tidak serta merta dapat
dihapuskan. Perlu ada upaya sistematis, struktural, dan kultural dan terencana.
Maka, kata yang tepat dipakai adalah memangkas. Mengurangi secara perlahan.
Untuk itu diperlukan gunting pangkas yang tajam dan tak mudah patah. Dan bila
sudah tiba waktunya, barulah dicabut dan ditanami perilaku baru ; yaitu rasa
kecintaan kepada visi misi Kabupaten Asahan yang cerdas, mandiri dan religius.